Thibbun nabawi, seperti yang dijelaskan oleh ulama adalah segala sesuatu yang disebut oleh Qur’an dan hadis yang sahih dan ada kaitannya dengan kedokteran, baik dalam pencegahan penyakit atau pengobatannya. Bisa juga diartikan dengan petunjuk yang digunakan Rasulullah ﷺ untuk berobat atau mengobati orang lain.
Dokter sekaligus pendakwah, Ustadz dr. Raehanul Bahraen menjelaskan bahwa metode pengobatan thibbun nabawi punya beberapa syarat yang harus dipenuhi. Seseorang yang mengobati haruslah seorang yang memang ahli, berpengalaman, punya kemampuan diagnosis, dan penentuan dosis.
“Barangsiapa berpura-pura berlaku tabib (dokter) sedangkan ia tidak tahu mengenal pengobatan, maka dia wajib bertanggung jawab (jika terjadi mala praktik).”HR. Ibnu Majah
Ada Aturan dan Dosis dalam Thibbun Nabawi?
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan, ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, “Sesungguhnya saudaraku mengeluh sakit perut.” Dalam riwayat lain dikatakan, “Perutnya mencret.” Lalu Rasulullah ﷺ bersabda, “Minumkan madu padanya.” Laki-laki itu pergi, lalu kembali lagi dan berkata, “Aku sudah meminumkan madu padanya, tapi tidak ada pengaruh sedikit pun.”
Dalam riwayat lain dikatakan, “Tapi mencretnya semakin parah.” Hal itu dikatakan sebanyak dua hingga tiga kali, dan Rasulullah ﷺ selalu bersabda, “Minumkan madu padanya!” Baru pada kali yang ketiga atau keempat Rasulullah ﷺ bersabda, “Maha Benar Allah, dan perut saudaramu telah berdusta.” Laki-laki itu meminumkannya lagi, maka saudaranya pun sembuh.
Belajar dari hadis ini, menurut Ustadz dr. Raehanul Bahraen, ini mengindikasikan jika madu untuk mengobati diare tidak diminum begitu saja, namun ada aturan dan dosisnya yang spesifik. Yang diperhatikan dalam kasus tersebut, si laki-laki beberapa kali datang bolak-balik dan mengatakan bahwa saudaranya belum juga sembuh, namun oleh Rasulullah ﷺ tetap diperintahkan untuk meminum madu.
Sehingga, kurang tepat jika ada orang yang ingin mengobati diare dengan madu, namun cara meminumnya asal-asalan dan tidak tahu dosis tepatnya. Ibnu Qayyim mengenai hadis ini juga menjelaskan, dengan memberikan minum madu berulang kali, ini cukup menunjukkan kaidah ilmu kedokteran bahwa obat harus sesuai dosis dan jumlahnya harus sesuai dengan keadaan penyakitnya.
“Memberikan minum madu dengan berulang kali menunjukkan mengenai ilmu kedokteran, yaitu obat harus sesuai dosis dan jumlahnya sesuai dengan keadaan penyakitnya.”Thibbun Nabawi, 29
Setiap obat, baik yang disebutkan dalam riwayat atau bukan, harus sesuai dengan indikasi dan dosis, umur, jenis makanan, jenis daerah, bahkan jenis ras dan keadaan orang tersebut. Dalam kasus ini, perlu pengalaman ahli, seperti dokter. Ibnu Hajar juga menjelaskan terkait hal ini.
“Seluruh tabib telah sepakat bahwa pengobatan suatu penyakit berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan umur, kebiasaan, waktu, jenis makanan yang biasa dikonsumsi, kedisiplinan dan daya tahan fisik. Karena obat harus sesuai kadar dan jumlahnya dengan penyakit, jika dosisnya berkurang maka tidak bisa menyembuhkan dengan total dan jika dosisnya berlebih dapat menimbulkan bahaya yang lain.”Fathul Bari, 10/169-170
Penutup
Kesesuaian dosis dan indikasi adalah hal terpenting dalam konsep pengobatan thibbun nabawi, seperti dijelaskan oleh Ibnu Qayyim. Lebih dari itu, bahkan dalam pengobatan suatu penyakit, menurut Ibnu Hajar juga disesuaikan dengan kebiasaan, waktu, jenis makanan yang biasa dikonsumsi, daya tahan fisik, hingga umur. Seperti bayi, ibu hamil, anak, atau dewasa tentu saja akan berbeda. Untuk mengetahui dosis dan indikasi yang tepat ini, tentunya harus melalui ahli, dalam hal ini dokter atau sejenisnya.