Banyak perokok merasa jika merokok adalah salah satu kegiatan yang bisa menghilangkan stres. Setidaknya, itulah yang mereka rasakan saat menghisap tembakau bakar tersebut. Padahal, rokok tidak benar-benar menghilangkan stres. Lalu, bagaimana penelitian menjelaskan hal tersebut?
“Gue itu merokok buat ngilangin stres. Ngga merokok sehari aja, otak gue udah pening aja rasanya. Cuma rokok yang bisa ngertiin gue.”Seorang Perokok
Stres adalah salah satu bagian dari kehidupan. Tidak ada cara untuk menghindari stres sepenuhnya, namun kita bisa mengubah cara kita menghadapi peristiwa, situasi, dan rasa emosi yang membuat stres tersebut. Tentu saja, ada banyak cara untuk menghadapi stres yang lebih baik daripada rokok.
Merokok Bisa Menghilangkan Stres?
Memang rokok bisa merilis stres sementara. Itu karena rokok mengandung nikotin, zat psikoaktif yang mampu mengubah suasana hati. Nikotin hanya butuh waktu 8 detik untuk bisa sampai ke otak, sekejap setelah perokok menghisapnya, menyebabkan sensasi lega karena ada pelepasan hormon dopamin dari otak.
Dopamin menyebabkan munculnya perasaan senang dan rileks. Bagi perokok, ini adalah sensasi yang didambakan oleh tubuh berulang kali. Namun, selama tubuh merasakan perasaan rileks ini, tubuh sebenarnya sedang mengalami peningkatan stres dalam jangka panjang. Mengapa bisa begitu?
Efek Panjang Rokok pada Mental
Orang-orang dengan gejala stres dan depresi, biasanya memiliki tingkat dopamin yang rendah. Sebenarnya, otak kita bisa memproduksi dopamin sendiri dengan banyak cara. Namun, dari banyak alternatif, perokok menggunakan rokok untuk meningkatkan kadar dopamin di dalam tubuhnya tersebut.
Asupan dopamin palsu dari rokok, akan membuat produksi dopamin dari otak menurun. Menurut penelitian dalam jurnal Neurosci Biobehav Rev, merokok berdampak buruk pada mekanisme otak dalam membuat dopamin, sehingga dalam jangka panjang hanya akan membuat pasokannya berkurang. Efeknya, bisa membuat perokok kecanduan akan dopamin palsu ini, menyebabkan stres pada tingkat mayor di kemudian hari.
Hasil penelitian tersebut tampaknya cukup valid. Menurut data observasi yang terbit dalam jurnal JECH, memang ada kaitan antara merokok dengan peningkatan risiko depresi berat. Peneliti menyebutkan, tingkat merokok merokok pada orang-orang dewasa yang mengalami depresi terbukti dua kali lebih tinggi daripada pada mereka yang tidak depresi.
Namun, tidak hanya stres yang mendorong seseorang untuk merokok, menurut penelitian dalam jurnal Psych Central, merokok juga bisa menjadi faktor penyebab depresi. Merokok tidak memberi solusi untuk menghilangkan stres, rokok justru berpotensi dalam meningkatkan gejala stres dan depresi di kemudian hari.
Rokok bukanlah cara yang efektif untuk mengelola stres. Rokok memberikan perasaan rileks yang sifatnya hanya sementara. Segera setelah efek zatnya hilang, rokok hanya akan meningkatkan keinginan untuk terus menghisapnya agar si perokok tetap merasa rileks dan tenang, sehingga terjebak dalam candu yang sulit dihentikan.
Penutup
Daripada rokok, sebetulnya ada banyak cara untuk membantu otak kita dalam meningkatkan dopamin secara natural. Seperti berkumpul dengan orang tersayang, makan makanan kesukaan, melakukan hobi, berolahraga, berdoa kepada Allah, dan lainnya. Intinya, yang kita butuhkan adalah support system, bukan toxic yang merusak tubuh.